"Temuan kerangka manusia di Situs Lambanapu, Sumba Timur merupakan salah satu bukti terjadinya percampuran ras dan budaya sejak ribuan tahun lalu di Nusantara."
Munculnya pengaruh-pengaruh dari luar yang masuk ke pesisir kemudian beradaptasi dengan lingkungan setempat sejak ribuan tahun lalu membentuk kebinekaan ras, etnik, dan budaya di Pulau Sumba. Dengan demikian, Sumba turut memperkaya dan memperkuat keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia.
Dari hasil penelitian para arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), Situs Lambanapu di Desa Lambanapu, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur ternyata memiliki kemiripan dengan beberapa situs lain, seperti Situs Pain Haka di Flores, Sulengwaseng di Solor, Lewoleba di Lembata dan beberapa situs pesisir lainnya. Kesamaan itu tampak pada budaya dan gaya hidup yang masyarakat yang dahulu menghuni kawasan tersebut kurang dari 3.000-an tahun lalu.
“Dilihat dari temuan-temuan arkeologis di Situs Lambanapu, penghunian di Sumba merupakan bagian dari persebaran para penutur Austronesiaprasejarah di Nusantara,” kata peneliti senior Prof Truman Simanjuntak akhir pekan lalu di Sumba Timur, NTT.
Seperti situs-situs lainnya, letak Situs Lambanapu berada di lembah di sekitar aliran Sungai Kambaniru, sebuah lingkungan yang sangat cocok untuk dihuni karena subur dan berlimpah air. Lambanapu juga dekat dengan pantai sehingga siapapun yang hidup di kawasan itu bisa memanfaakan aneka macam sumber daya alam dari laut.
Hingga kini, arkeolog baru menemukan kompleks kuburan di Situs Lambanapu. Meski demikian, dari hasil ekskavasi berupa kerangka-kerangka manusia, tempayan kubur, dan aneka macam bekal kubur bisa dilihat bagaimana kebudayaan yang berkembang di sana dahulu kala.
Temuan-temuan di Situs Lambanapu memiliki kesamaan dengan kompleks pemakaman kuno di tempat lain seperti Situs Gilimanuk, Alor, dan Lembata yang juga menggunakan tempayan-tempayan kubur. Sistem-sistem penguburan seperti ini biasanya banyak ditemukan di sekitar pesisir pantai dan menjadi kekhasan dari sistem penguburan para penutur Austronesia.
Ras campuran
Ketua Tim Peneliti Situs Lambanapu Retno Handini mengatakan, berdasarkan hasil analisa kerangka-kerangka manusia yang ditemukan di situs tersebut, puluhan manusia yang dikuburkan memiliki karakter ras Mongoloid yang bercampur dengan ras Australomelanesid. Hal ini cocok dengan analisa DNA yang dilakukan Lembaga Biologi Molekuker Eijkman terhadap populasi Sumba saat ini.
Selain percampuran antara ras Mongoloid dan Australomelanesid, diperkirakan terdapat pula percampuran antara kelompok penutur Austronesia dan Austroasiatik. Hasil studi bahasa Sumba menunjukkan, sekitar 35 persen penduduk Sumba menggunakan bahasa tutur Austronesia sedangkan 65 persen lainnya bahasa non-Austronesia atau Papua.
Hasil analisa kerangka, DNA, dan bahasa ini semakin menegaskan bagaimana leluhur masyarakat Sumba memang berasal dari percampuran genetika tiga gelombang migrasi yang datang ke Indonesia pada zaman prasejarah, meliputi ras Australomelanesid yang datang sekitar 12.000 tahun lalu di Papua, kemudian ras Mongoloid yang bertutur Austroasiatik dari Asia Tenggara daratan sekitar 4.000 tahun lalu dan kemudian penutur Austronesia dari Taiwan sekitar 4.000 tahun lalu.
Percampuran ras dan budaya yang terjadi sejak ribuan tahun lalu ini menjadi bukti kuat bagaimana leluhur Sumba dan leluhur Nusantara pada umumnya sudah mempraktikkan tradisi hidup berdampingan dengan penuh toleransi. “Dengan menggali nilai-nilai peradaban masa lampau seperti ini, maka akar ke-Indonesia-an ditemukan. Inilah yang menjadi dasar perumusan Pancasila,” tambah Truman.
Truman berharap, penelitian Situs Lambanapu secara intensif sejak 2016 oleh Puslit Arkenas dapat menumbuhkan rasa kebanggaan bagi masyarakat Sumba sebagai bagian penyumbang kebinekaan budaya Nusantara. Ke depan, diharapkan pemerintah daerah setempat bisa memanfaatkan situs tersebut sebagai destinasi wisata yang bisa menunjang kemajuan ekonomi masyarakat.
"Penelitian Situs Lambanapu secara intensif sejak 2016 oleh Puslit Arkenas dapat menumbuhkan rasa kebanggaan bagi masyarakat Sumba sebagai bagian penyumbang kebinekaan budaya Nusantara."
Situs Lambanapu mulai dikenal sejak arkeolog Belanda, Van Heekeren melakukan penelitian di Pulau Sumba pada 1956. Dalam laporannya berjudul “Urn Cemetery at Melolo, East Sumba”, Heekeren sempat menyebut nama Lambanapu.
Setelah penelitian Heekeren, Puslit Arkenas melanjutkan penelitian di Lambanapu pada 1978 yang kemudian diikuti penelitian-penelitian selanjutnya hingga sekarang. Mulai 2016, petunjuk-petunjuk tentang misteri kehidupan manusia masa lampau di Sumba perlahan-lahan mulai terkuak setelah para arkeolog melakukan ekskavasi secara intensif.
Sumber : https://kompas.id/baca/utama/2019/05/06/pengaruh-dari-luar-membentuk-kebinnekaan-di-nusantara/