"Masyarakat di Sumba menghidupi pluralisme sejak dahulu. Dalam kebinekaan marga, mereka hidup damai dan toleran."
Keberagaman identitas masyarakat Sumba ditandai dengan munculnya bermacam-macam kabihu atau marga, yaitu persekutuan berdasarkan garis keturunan (genealogis). Hal yang menarik di Sumba adalah, berbagai macam kabihu bisa hidup dalam satu wilayah kampung atau negeri. Di sinilah, Sumba menunjukkan bukti nyata pluralisme yang sudah mereka hidupi sejak dahulu kala.
Kabihu memiliki makna siku atau jiku seperti diterangkan Umbu Pura Woha dalam buku “Sejarah, Musyawarah & Adat Istiadat Sumba Timur” (2007). Pada umumnya, suatu kampung di Sumba berbentuk segi empat yang terbentuk dari empat siku (sudut). Di masing-masing siku itulah hidup sekelompok orang yang masing-masing merupakan satu kabihu. Oleh karena itu, hidup berdampingan dalam suatu kampung dengan berbagai macam kabihu atau marga adalah hal lumrah di Sumba.
Di Kampung Tanao, Kelurahan Lambanapu, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur misalnya, beberapa kabihu hidup berdampingan. Rumah mereka saling berhadapan membentuk formasi memanjang dengan beberapa reti atau kuburan di bagian tengah-tengahnya.
Beberapa kabihu yang hidup berdampingan di Lambanapu, antara lain marga Ana Kapu, Ana Mburung, Matolang, hingga Bandju (keturunan Suku Bajo dari Sulawesi Tenggara). Meski terbagi-bagi berdasarkan marga, namun tak ada fanatisme atau segregasi di antara mereka.
“Kami mengetahui satu per satu nama marga setiap penduduk di kampung. Walaupun warga kami terdiri dari berbagai macam marga, namun kami hidup rukun berdampingan dalam satu wilayah hunian,” kata Ruben Ruta Pulung Tana (59), warga Lambanapu awal bulan lalu.
"Meski terbagi-bagi berdasarkan marga, namun tak ada fanatisme atau segregasi di antara mereka."
Asal-muasal “kabihu”
Jika dirunut dari asal muasalnya, cara-cara penamaan kabihu di Sumba bermacam-macam. Kabihu Ana Macua misalnya, disebut Ana Macua karena leluhurnya dianggap sebagai yang sulung. Sementara itu, muncul pula Kabihu Ana Maari atau Ana Maeri karena leluhurnya dianggap sebagai yang adik.
Ada pula Kabihu Kombu yang penyebutannya berdasarkan nama leluhurnya, yaitu keturunan dari Makombu-Malapu. Selain itu, ada juga kabihu yang menyebut dirinya sebagai Kabihu Ana Waru karena mereka mendiami pondok (kawarungu); atau karena tempat tinggalnya berdekatan dengan pohon gebang (mburungu) menjadi Kambihu Ana Mburung; berdekatan dengan Pohon Asam (kamáru) kemudian disebut Kambihu Máru.
Letak geografis tempat tinggal juga bisa menjadi cara penamaan kabihu, seperti Kabihu Parai Karaha karena kampung tempat tinggalnya berada di lereng gunung (karaha), juga karena kampungnya berada di tempat yang tinggi (jangga) kemudian disebut Kabihu Parai Majangga. Penamaan marga juga bisa berawal dari tugas dan peran leluhur seperti Kabihu Matolang yang asal-muasalnya karena leluhur mereka bertugas sebagai na matola na mawara atau yang memaki dan berteriak-teriak dalam upacara adat.
Sistem pembagian marga yang bermacam-macam ini unik dan menarik. Bisa jadi, marga-marga baru masih akan tercipta kembali karena peristiwa-peristiwa khusus atau kondisi lingkungan tertentu. Karena itu, jumlah marga di Sumba terus-menerus bertambah.
Apabila sebuah kabihu berkembang semakin besar, maka di dalamnya akan terbagi-bagi lagi menjadi rumah-rumah atau uma. Di sisi lain, jika sebuah kabihu tak bisa menurunkan generasi baru, maka suatu saat bisa jadi mereka akan punah.
Hal menarik lain dari keberadaan kabihu-kabihu di Sumba adalah kultur musyawarah yang berkembang di dalamnya. Meskipun suatu wilayah dikuasai oleh tuan tanah (Mangu Tanangu) dari pasangan kabihu tertentu, namun semua keputusan yang diambil harus dibicarakan dalam sebuah musyawarah yang diikuti oleh semua kabihu di wilayah tersebut.
Pola sistem kekerabatan masyarakat Sumba yang terbagi-bagi dalam berbagai macam kabihu menjadi penopang untuk bergotong-royong menggelar aneka macam ritual adat istiadat yang membutuhkan dana besar seperti pemberian belis atau mas kawin dan upacara penguburan. Untuk menggelar dua ritual adat tersebut, masyarakat biasanya menyiapkan belis dan hewan kurban, seperti kuda, kerbau, dan babi dalam jumlah banyak, bisa puluhan bahkan ratusan ekor. Tentu pengadaan hewan-hewan kurban ini membutuhkan biaya yang sangat tinggi.
"Pola sistem kekerabatan masyarakat Sumba yang terbagi-bagi dalam berbagai macam kabihu menjadi penopang untuk bergotong-royong menggelar aneka macam ritual adat istiadat yang membutuhkan dana besar."
Selain terdiri berbagai macam kabihu, Pulau Sumba juga dihuni oleh etnis Sabu yang mendiami bagian pesisir timur Sumba. Sebagian wilayah Sumba ditinggali pula oleh penduduk dari beberapa pulau terdekat seperti Flores, Timor Leste, Alor, dan Rote.
Selain itu, meski jumlahnya tidak terlalu banyak, berbagai macam etnis dan suku bisa ditemukan di Sumba, antara lain China, Arab, Jawa, Bali, Batak, serta Padang. Berbagai etnis dan suku tersebut merantau ke Pulau Sumba untuk mencari mata pencaharian.
Tokoh masyarakat Sumba sekaligus Ketua DPRD Sumba Timur Palulu Pabundu nDima mengatakan, Sumba khususnya Kabupaten Sumba Timur adalah Indonesia mini karena terdiri dari berbagai macam etnis dan suku. Di Sumba Timur, orang-orang dari luar Pulau Sumba bahkan juga diberi kepercayaan memegang jabatan-jabatan penting di pemerintahan. Dalam kebinekaan suku dan etnis tersebut, mereka hidup damai dan toleran.
Sumber: https://kompas.id/baca/utama/2019/05/22/kabihu-penjaga-pluralisme-sumba/