Pada pidato pelantikan Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa visi kita adalah Indonesia Maju 2045 dimana masyarakat Indonesia diniatkan telah lepas dari jebakan pendapat menengah dan masuk pada negara dengan masyarakat berpendapatan tinggi atau biasa dikenal dengan istilah High-Income Country (HIC). Kemudian pada penyelenggaraan G-20 Summit di Jepang presiden Jokowi menyepakati di 2025 Indonesia harus (turun) di 23%, di 2030 di 29% dan nanti di 2060 emisi nol itu harus semuanya Indonesia wujudkan. Sebagai informasi, bauran energi Indonesia saat ini baru mencapai 11,2%.
SAAT INI MENJADI JELAS BAGI KITA BAHWA ARAH PERJUANGAN GENERASI MUDA INDONESIA ADALAH INDONESIA MAJU 2045 & INDONESIA BERSIH 2060.
Dalam Presidensi G20 Indonesia pada tahun 2022 ini tiga pembahasan utamanya adalah Arsitektur Kesehatan Global yang erat hubungannya dengan pendanaan, ketangguhan dan harmonisasi standar kesehatan global setelah dalam beberapa tahun terakhir dunia belajar beradaptasi dengan pandemi covid-19 yang fenomenal itu. Pembahasan lain adalah Transformasi Digital yang fokus pada desain ulang tata kelola ekonomi global melalui teknologi digital, menciptakan nilai ekonomi dengan teknologi digital dan ini merupakan salah satu jalan kita menuju Indonesia Maju 2045. Transisi Energi adalah bentuk komitmen kita bersama dunia dalam menata sistem energi global yang lebih bersih dengan transisi terukur, kita juga mendorong persetujuan global untuk mempercepan transisi energi, sesuai visi kita bersama yaitu Indonesia Bersih 2060.
Pandangan saya mengenai kerja bersama kita menuju Indonesia Maju 2045 sudah saya tuangkan pada Buku Humba 2045, kali ini saya ingin menyampaikan pandangan saya berkaitan dengan Indonesia Bersih 2060 beserta langkah-langkah awal yang dapat kita lakukan dalam rangka berkolaborasi membangun peradaban Bangsa Kita, Bangsa Indonesia.
Bappenas sendiri telah menyiapkan empat skenario Indonesia mencapai nol emisi karbon. Menurut simulasi Bappenas, jika Indonesia ingin menetapkan target emisi nol bersih pada 2045 atau 2050, maka puncak emisi gas rumah kaca harus terjadi pada 2027. Sementara jika puncak emisi gas rumah kaca terjadi pada pada tahun 2033 hingga 2034, maka pilihan target nol emisi karbon baru dapat terealisasi antara tahun 2060 dan 2070. Untuk itu, kita berharap supaya puncak emisi gas rumah kaca tidak bergeser jauh dari 2033 atau 2034. Pasalnya, setiap pergeseran setahun dapat menggeser lima hingga 10 tahun pencapaian nol emisi karbon. Bappenas tidak hanya berbicara mengenai upaya menurunkan emisi gas rumah kaca, namun juga berupaya memperkenalkan satu indikator baru yakni intensitas emisi.
Institute for Essential Services Reform (IESR) yang berjudul “Deep decarbonization of Indonesia’s energy system: A pathway to zero emissions by 2050” menunjukkan bahwa secara teknologi dan ekonomi, sektor energi Indonesia mampu mencapai nol emisi karbon di tahun 2050.
Laporan ini merupakan kajian komprehensif pertama di Indonesia yang menggambarkan peta jalan mencapai emisi nol karbon di 2050 di sistem energi. Hal ini merupakan tonggak penting mengingat saat ini aksi mitigasi di sektor energi tidak cukup ambisius. Sementara, emisi dari sektor energi diperkirakan akan meningkat menjadi 58% pada tahun 2030, sebagaimana ditunjukkan dalam skenario business as usual (BAU) dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, terutama didorong oleh peningkatan konsumsi energi final.
“Sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia dan dengan posisi strategisnya di Asia Tenggara, Indonesia harus memimpin dalam mentransformasi sistem energinya dari sekarang. Dekarbonisasi sistem energi Indonesia dapat membawa dampak signifikan bagi kawasan dan menginspirasi negara lain untuk mempercepat transisi energi. Komitmen politik dan kepemimpinan yang kuat dari Presiden Jokowi akan sangat diperlukan untuk mewujudkan hal ini,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.
Satu dekade mendatang akan menjadi penentu bagi upaya dekarbonisasi di Indonesia. Untuk mulai menurunkan emisi GRK, Indonesia perlu memasang sekitar 140 GW energi terbarukan pada tahun 2030, sekitar 80% nya merupakan PLTS. Selain itu, penjualan mobil listrik dan sepeda motor perlu ditingkatkan masing-masing menjadi 2,9 juta dan 94,5 juta pada tahun 2030. Suatu peningkatan yang sungguh dramatis bila dibandingkan dengan tingkat penjualan kendaraan listrik yang masih minim saat ini. Di sektor industri, pemenuhan kebutuhan panas industri menggunakan listrik perlu menjadi pilihan utama, diikuti oleh energi biomassa. Selain itu, hal terpenting lainnya, PLN perlu menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara baru pada tahun 2025.
Pada tahun 2045, energi terbarukan memasok 100 persen listrik di Indonesia. Untuk pertama kalinya, sektor kelistrikan Indonesia menjadi bebas karbon. PLTS merupakan penyumbang terbesar dalam pembangkit listrik dengan pangsa 88%, diikuti oleh tenaga air sebesar 6%, panas bumi sebesar 5%, dan energi terbarukan lainnya sebesar 1%. Teknologi penyimpanan energi, terutama baterai, berperan besar dalam mengatasi masalah intermitten. Sementara itu, bahan bakar sintetik, hidrogen, dan pemanas listrik akan lebih berperan dalam dekarbonisasi sektor transportasi dan industri.
Agar dapat mengandalkan energi terbarukan sebagai tulang punggung sistem energi di Indonesia maka penting untuk membangun integrasi jaringan listrik di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau lain. Kebutuhan ini akan meningkat mulai tahun 2030 hingga seterusnya. Model IESR menunjukkan bahwa pada tahun 2050, kapasitas transmisi listrik sebesar 158 GW diperlukan untuk menghubungkan nusantara dari barat sampai timur.
Menyongsong tahun 2050, upaya dekarbonisasi terus berlanjut terutama untuk sektor transportasi dan industri yang sulit di dekarbonisasi dengan listrik secara langsung, hingga akhirnya Indonesia akan mencapai titik di mana seluruh sektor energi menjadi bebas karbon melalui penggunaan 100% energi terbarukan. Dekarbonisasi sistem energi berpotensi mengurangi biaya sistem tahunan sebesar 20% dibandingkan dengan sistem energi berbasis fosil.
Demi mencapai target yang ambisius tersebut, Indonesia membutuhkan investasi sebesar USD 20-25 miliar per tahun mulai tahun ini hingga tahun 2030 dan akan meningkat menjadi USD 60 miliar per tahun antara tahun 2030 hingga 2040. Mengingat kebutuhan investasi yang besar, pemerintah harus berusaha menarik investasi dari sektor swasta dan individu. Oleh karena itu, perbaikan iklim investasi sangat penting dalam mewujudkan hal tersebut.
Laporan “Deep decarbonization of Indonesia energy system: A pathway to zero emission by 2050” adalah studi IESR bekerja sama dengan Agora Energiewende, dan Lappeenranta University of Technology (LUT). Peluncuran kajian ini dilaksanakan pada 28 Mei 2021. Laporan tersebut dapat diunduh di tautan berikut: